“Hati-hati cong!”, ucap perpisahan ibu kepadaku yang akan kembali ke Pamekasan, kota di Madura di mana aku sekolah di sana setelah lima hari libur. Aku mencium tangan bapak dan ibuku sebagai tanda permohonan restu karena akan menuntut ilmu non jauh di sana. Kelak jika aku sudah jadi orang, aku akan mengabdikan diriku pada desa kelahiranku ini, Desa Duko, Pulau Kangean. Sebenarnya air mataku ingin sekali aku keluarkan, namun aku harus tetap menahannya agar hati ini bisa belajar bersabar. Lima hari bukanlah waktu yang cukup untuk menumpahkan segala rindu kepada keluarga, namun bagaimanapun tuntutan pendidikan harus tetap dilaksanakan sebaik mungkin demi kebaikan bersama. Lambaian tangan kedua orang tuaku melepaskan kepergianku. Aku tahu bahwa air mata mereka menetes, tapi bukan di pelupuk mata melainkan mengalir dalam muara cinta tulus yang ada dalam benak mereka.
Hari ini, Rabu, 2 Desember 2008 pukul 07.00 kakiku melangkah ke Pelabuhan Batu Guluk. Di pelabuhan ini, orang-orang berseliweran ke sana ke mari. Mungkin sama denganku, ingin menyeberang ke Pulau Madura. Angin begitu kencang. Inilah angin semangat yang akan mengiringiku menuju Madura. Setelah membeli tiket, aku naik ke kapal Sumekar. Kapal tidak langsung berangkat, namun harus diam sejenak untuk menunggu penumpang lain yang mau ikut.
Setelah dua jam menunggu, pukul 09.00 kapal melaju dengan kecepatan sedang. Aku segera mencari tempat untuk membaringkan tubuhku. Di atas kapal ini, tempat favoritku adalah box mesin kapal. Menurutku tempat ini adalah tempat yang enak untuk membaringkan diri.
Beberapa menit kemudian angin semakin kencang. Prahara murka mencipta langit kelam. Mentari bersembunyi di balik awan kelabu, takut akan udara gusar yang satu ini. Burung-burung camar tak menampakkan kepakan sayapnya. Kali ini mereka harus cuti agar tak tertiup hembusan prahara murka. Air laut seolah dipaksa menjadi ombak yang bergulung-gulung ganas serta memuntahklan buih-buih raksasa sebagai pertanda ketidakrelaannya menjadi ombak. Makhluk lautpun tak berani bersenda gurau di perukaan laut kalau tak ingin dirinya diombang-ambing gelombang yang membabi buta. Kali ini, alam menjadi istana kegelapan. Teriakan angin memecah Ankara murka. Gulungan air begitu dahsyat laksana gelombang Laut Merah yang akan membelah diterpa tongkat Musa. Kapal bergoyang-goyang layaknya si ratu ngebor legendaris yang mengikuti irama musik rock and roll angin laut. Sungguh Maha Kuasa Tuhan alam semesta yang telah menghembuskan angin barat ini
Kondisi dalam kapal sudah tidak kondusif lagi. Kaca jendela bagian bawah kapal pecah akibat serundukan dan tekanan air yang begitu keras. Otomatis air masuk ke dalam kapal sehingga lantai kantin yang terletak di bagian bawah kapal tergenang air. Para wanita dan anak-anak menangis. Seorang gadis kecil, kira-kira berumur empat tahun
berteriak histeris sejadi-jadinya bagai disengat arus listrik tegangan tinggi.
“Oh Tuhan, selamatkanlah aku. Keluargaku masih membutuhkanku!”. Mungkin itulah doa yang ada dalam benak para wanita takut itu.
Salah seorang wanita paruh baya berbadan gemuk, berkulit gelap dan berambut pendek kriting, komat-kamit begitu keras. Dengan menangis histeris dia berucap, “Ya Allah Gusti, jika saya selamat saya berjanji akan menyembelih kambing dan berziarah ke Asta Tinggi”.
Tentu saja doa rayuan gombal ini menjadi bahan gelak tawa para malaikat yang sedang duduk ringan di emperan galaksi sana. Mungkin salah satu malaikat yang ada di sana menyindir, “emangnya Tuhan bisa disogok dengan seekor kambing kurus?”
Sedangkan keadaan para lelaki di kapal begitu paradoks dengan keadaan para wanitanya.Tak ubahnya keadaan para lelaki Madura lainnya, mereka bercanda sombong. Mereka terbahak-bahak melihat para wanita menangis histeris. Salah seorang dari mereka berkata lantang sambil tertawa, “ha…..ha…...ha…..anginnya kurang besar oy….., mana yang lebih besar lagi……ha…..ha…..”. I don’t care dengan semua itu. Aku tetap saja enak-enakan tiduran di atas box mesin kapal.
“Brukk…..! auuu……!”. Aku terjatuh dari atas box mesin akibat goyangan mesin yang terlalu besar. Galon-galon air kosong berantakan akibat kejatuhanku ini. Punggungku terasa sakit sekali. Mungkin inilah kutukan Tuhan karena aku tidak peduli di saat para wanita dan anak-anak itu menangis. Aku harus segera menyewa kamar untuk membaringkan tubuhku yang sakit ini. Dengan terlunta-lunta aku berjalan menuju petugas kapal. Aku menyewa kamar dua puluh lima ribu rupiah. Setiap kamar terdiri dari delapan ranjang susun. Di kamar ini, aku bertemu dengan teman SMPku, Edi. Kebetulan tempat tidurku satu ranjang dengannya. Aku ranjang bagian bawah dan dia ranjang bagian atas. Kapal terus bergoyang dengan keras. Tiba-tiba, “wek…..wek……wek…..”. Si Edi muntah dari atas. Cairan muntahannya tumpah ke sepatuku yang berada di samping bawah ranjangku. Muntahannya berupa cairan putih encer dan nasi yang sudah hancur.
“Cepat ke kamar kecil, Ed!”, ujarku.
Sesegera mungkin ia turun dari ranjangnya dan menuju kamar kecil. Akupun tidur, tidak peduli dengan sepatu yang terkena cairan terkutuk itu.
***
Terasa ada beban berat di kaki-kakiku. Saat kubuka mata, empat orang tiduran di samping bawah ranjangku dengan kepala membantali kaki-kakiku. Tangan-tangan mereka diborgol dan di depan mereka seorang polisi muda duduk dikursi mengawasi mereka. Aku tahu ternyata empat orang ini adalah tahanan yang dipindah sel. Aku cemas. Jangan–jangan nanti dompet dan ponsel yang ada di saku celanaku mereka rampas akibat sifat brutal yang masih melekat pada diri mereka. Makanya aku segera mengambil kedua barang berhargaku ini untuk dititipkan pada Edi. Tiba-tiba aku merasa ubun-ubun kepalaku basah dan tercium aroma busuk. Saat kusentuh kepalaku, ternyata memang basah. Cairan ini berwarna kuning dan baunya minta ampun. Waktu masih kecil dulu, Aku mengaji di surau desaku. Ustadz pernah bercerita bahwa minuman para penduduk nereka adalah cairan maha busuk yang pernah ada. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya aroma cairan terkutuk itu menusuk hidung para penduduk negeri api itu. Memang perbandingannya terlampau jauh jika aku bandingkan dengan cairan kuning yang bertengger di atas kepalaku ini. Namun, mungkin ini adalah suatu pelajaran yang diberikan Tuhan kepadaku dan para tahanan yang ada di dekatku yang juga turut mencium aroma cairan kuning busuk itu bahwa di neraka sana cairan yang diberikan jauh lebih busuk dari pada cairan kuning ini sehingga kita diingatkan untuk sedapat mungkin menghindari perbuatan-perbuatan tercela agar terhindar pula dari negeri neraka yang menyediakan minuman busuk itu. Yang lebih mengenaskan lagi, ternyata cairan busuk yang warnanya mirip kotoran manusia dan membasahi kepalaku, itu keluar dari mulut si Edi yang mual lagi.
“Cepat ke kamar kecil!”, nadaku marah.
“Oke Bos”.
***
Jam telah menunjukkan pukul 15.00. Kapal masih menempuh seperempat perjalanan, padahal sebelumnya telah ditaksir bahwa pukul 17.00 seharusnya kapal telah sampai di Pelabuhan Kalianget, Madura. Tentu saja ini terjadi karena angin kencang berhembus dari arah barat, berlawanan dengan arah laju kapal sehingga angin kencang ini menghambat perjalanan kapal.
Angin semakin kencang dan begitu kencang sehingga tidak lagi bisa berjalan.
“Kecepatan penuh!”, perintah kapten kapal kepada nahkoda. Kecepatan kapal dimaksimalkan, tapi kapal tetap saja tidak bisa melaju. Kali ini kapal harus menyerah menghadapi tangan raksasa angin yang begitu dahsyat.
“Belok ke arah timur!, kita kembali ke Kangean saja. Cuaca sangat buruk”, tandas kapten kembali kepada nahkoda kapal.
Dengan segera nahkoda berbelok ke arah selatan untuk kembali ke arah timur. Ketika kapal berbalik ke arah selatan, kapal hampir guling ke sisi kiri karena hempasan angin begitu kuat mendorong sisi kanan kapal. Para wanita dan anak-anak berteriak sekeras-kerasnya. Mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan jiwa mereka. Tapi nahkoda kapal begitu lihai. Ia langsung berbelok sembilan puluh derajat ke arah timur. Dengan melesat cepat kapal melaju ke arah timur dan semakin cepat karena bantuan angin gila ini yang mendorong kapal dari arah barat. Dengan demikian, tragedi yang terjadi di dekat Pulau Komarean inipun telah usai.
Ternyata kapal tidak dapat berhenti di Pelabuhan Batu Guluk, Kangean seperti yang telah direncanakan. Sebab angin terlalu kencang sehingga pada saat kapal menurunkan jangkarnya, kapal tetap melaju ke arah timur. Beban jangkar tak mampu menahan hembusan angin yang sangat kencang sehingga jangkarpun tertarik mengikuti laju kapal. Karena kejadian ini, Pulau Kangean yang menjadi tujuan pemberhentian kapal terlewati.
Akhirnya agar kapal bisa berhenti, kapal harus berhenti di tengah-tengah tiga pulau. Tiga Pulau ini adalah Pulau Saobi, Sapaang dan Cellong. Jika menempuh perjalanan dari Kangean ke tiga pulau ini, kira-kira memerlukan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Kapal yang kami tumpangi ini berhenti di tengah-tengah tiga pulau ini. Pulau Saobi terletak di sebelah timur, Pulau Sapaang terletak di sebelah utara dan Pulau Cellong terletak di sebelah barat. Selain kapal kami, ternyata ada juga kapal yang berhenti di antara tiga pulau ini. Kapal itu bernama Palapa, sejenis kapal barang. Di tengah-tengah tiga pulau ini, angin yang berhembus tidak terlalu kencang sehigga kapal bisa berhenti, sebab ada Pulau Cellong yang menjadi perisai kapal kami dari terpaan angin kencang yang berhembus dari arah barat.
Waktu menunjukkan pukul 17.00. Kapten memberi pengumuman kepada para penumpang, “Kepada para penumpang, tiket harap tetap di tangan. Jika besok cuaca memungkinkan, kapal akan berangkat jam lima pagi”.
Para penumpang menggerutu semua. Biasa, mereka adalah orang Madura yang sentimen, makanya di Madura terkenal dengan budaya caroknya. Seorang gadis remaja di antara mereka mencomot lidahnya, “ter-la-lu-la-ma” . Maka orang-orang yang tidak sabar semacam gadis ini lebih memilih kembali ke Kangean sekarang dari pada harus menunggu satu hari yang membosankan di dalam kapal.
Penduduk sekitar pulau memanfaatkan kondisi yang menggiurkan semacam ini. Mereka menuju kapal Sumekar untuk memberi jasa transportasi kepada para penumpang yang tidak sabar ingin kembali ke Kangean seperti gadis tadi. Dengan perahu motor berukuran panjang kira-kira dua meter dan lebar satu setengah meter, mereka berani memberikan jasa transportasi tanpa mempertimbangkan keselamatan. Uang membuat mereka berani mengorbankan nyawa mereka dalam keadaan spekulatif. Aku yakin dengan perahu sekecil itu, jari telunjuk angin dan goyangan maut gelombang dengan mudah mengombang-ambing perahu merana itu. Penumpang di kapal tinggal dua puluh lima orang. Aku dan Edi termasuk dari orang-orang yang sabar ini. Keadaan semacam ini bisa diibaratkan dengan komunitas Bani Israil yang mengikuti pengembaraan Nabi Musa. Bagi mereka yang tidak sabar dan mungkar, akan selalu menggerutu, protes dan akhirnya golongan ini akan tersingkirkan. Tapi bagi mereka yang sabar dan mentaati titah Nabi Musa, akan terus survival mengikuti ke manapun Nabi Musa pergi. Nah, kami yang dua puluh lima orang ini seperti golongan kedua komunitas Bani Israil yang penyabar itu. Sedangkan para penumpang yang tidak sabar seperti gadis remaja tadi, menggerutu dan akhirnya menyingkir dari kapal. Para penumpang yang ingin kembali ke Kangean ini, memanfaatkan perahu motor kecil yang telah disediakan oleh penduduk sekitar pulau tadi. Dengan uang enam puluh lima ribu rupiah, mereka bisa sampai ke Kangean kembali tentunya dengan resiko yang mungkin saja nyawa bisa melayang terbawa angin barat sinting itu.
***
Di kapal, aku sangat bosan meskipun ada temanku Edi yang selau mengajakku bicara. Sebab bahan pembicaraannya sangat membosankan, yaitu masalah handphone. Hari Rabu kemarin, ia dibelikan handphone merk nokia N76 oleh ayahnya. Makanya bahan pembicaraannya handphone melulu. Bagiku, topik handphone yang dibicarakannya
sangat membosankan. Pada saat ia bicara, aku hanya mengangguk-angguk saja. Kadang-kadang aku semakin kesal karena ludahnya muncrat-muncrat di wajahku.
Sekarang sudah pukul 07.00. Ternyata kapal tidak berangkat. Padahal kemarin sudah dijanjikan bahwa pukul 05.00 kapal akan berangkat. Tentu saja hal ini karena cuaca belum membaik. Aku bingung, sebab sekolahku sudah aktif. Makanya aku segera memberi tahu kapten bahwa aku ini seorang pelajar, jadi tidak bisa lama-lama di sini. Kemudian kapten meminta nomor handphone wali kelasku, Pak Abbas. Dengan hanphonenya sendiri, dia menghubungi Pak Abbas agar mengizinkanku tidak mengikuti pelajaran karena ada hambatan. Dan Alhamdulillah Pak Abbas mengizinkanku. Setelah kapten menghubungi Pak Abbas, dia memberiku sepotong roti karena aku memang belum makan apa-apa sejak tadi malam. Isi kantin sudah ludes. Hanya sepotong roti kecil inilah yang akan menjadi pengganjal perutku.
Untuk mengisi perutku yang masih keroncongan ini, aku dan Edi berinisiatif pergi ke Pulau Cellong untuk mencari makanan di sana. Kami pergi ke sana dengan perahu motor kecil yang berukuran dua kali satu setengah meter itu.
Perahu bergoyang pelan mengikuti ombak yang dihembus angin santai. Di wilayah laut antara tiga pulau ini, angin tidak begitui kencang. Sebab Pulau Cellong adalah penghadang angin kencang yang berhembus dari arah barat. Burung-burung camar beterbangan ramai tampak sebagai penguasa langit yang gagah. Mereka mematuk ikan-ikan yang berdendang di permukaan air. Ketika kami hampir sampai di dekat garis pantai, kami terpesona oleh kawanan ubur-ubur biru yang berukuran sebesar helm pembalap moto GP. Spesies Aurelia aurita ini bagaikan para Darwis yang melakukan tarian shema yang berputar-putar di dalam samudera spiritual cinta ilahi. Ingin sekali aku menangkap salah satu di antara mereka, tapi keinginan itu kuurungkan. Jika tidak, bisa-bisa tanganku kena racun gatal yang keluar dari tubuh anggunnya yang sangat menggoda. Dengan ongkos lima ribu rupiah kami hampir mendekati Pulau Cellong.
Saat sampai di Pulau Cellong, kami benar-benar tertegun. Pulau Cellong adalah pulau yang menyimpan sejuta pesona. Mata kami benar-benar terbelalak menatap indahnya pulau ini. Panorama Pantai Cellong mirip dengan pantai dalam film The Beach yang dibintangi oleh Leonardo Dicaprio itu. Hatiku tidak henti-hentinya bertasbih atas hamparan pasir putih bagai intan permata putih pecah yang menjadi serbuk-serbuk halus. Nyanyian merdu burung Sitta pygmea melantunkan kidung indah dengan iringan musik pohon-pohon kelapa yang melambai diterpa angin lembut hingga membentuk orkestra yang spektakuler dan menggaung ke seluruh cakrawala horison nusantara raya. Paduan suara indah ini melesat cepat membumbung tinggi menuju lapisan langit bidadari sehigga para bidadaripun serentak berdiri memberikan applause yang sangat meriah kepada penampilan seni tingkat tinggi yang memukau ini. Musik alam semacam ini lebih indah dari pada musik legendaris Mozart bagi jiwa-jiwa yang selalu bertafakkur akan kuasa Pencipta jagat raya ini. Seratus meter dari arah selatan di mana tempat aku berpijak, berdiri populasi pohon bakau yang rimbun. Akar pohon ini adalah jenis akar nafas yang tegak dan mencegah abrasi pantai serta menjadi sarang spesies Crustacea seperti udang dan kepiting hingga berbagai ikan-ikan kecil.
Akupun melangkah dengan meninggalkan jejak telapak kaki kurusku di atas pasir pantai putih menuju salah satu warung dari tiga warung yang berdiri di sana. Di warung ini, selain dapat menikmati es kelapa muda dan gurihnya mie rebus, kami juga dapat menikmati indahnya gilang-gemilang air laut yang diterpa cahaya matahari. Di warung inilah aku dan Edi berencana kembali ke Kangean tentunya setelah mengemasi barang-barang kami yang ada di kapal.
Setelah mandi di sumur bambu, kami langsung menuju kapal Sumekar dengan perahu motor kampungan itu tentunya dengan sejuta kenangan indah panorama Pulau Cellong yang tersimpan dalam Khazanah peti harta karun saraf-saraf otak kami.
“Bagi para penumpang, tiket harap dipegang, karena besok kapal akan berangkat subuh!. Bagi para penumpang yang kembali ke Kangean, tiket bisa di tukar dengan uang di Pelabuhan Batu Guluk”, kata kapten kapal memberi pengumuman lagi.
Aku dan Edi tidak peduli. Kami sudah sepakat akan kembali ke Kangean hari ini. Akhirnya kami berdua termasuk dalam golongan Bani Israil yang durhaka terhadap titah Nabi Musa. Di kapal tinggal lima belas orang. Orang-orang inilah laksana golongan Bani Israil yang tetap bertahan untuk terus mengikuti pengembaraan Nabi Musa sampai menuju tanah yang dijanjikan.
Koperku sudah siap di sampingku, tinggal menunggu perahu motir kecil merana itu. Di kejauhan terlihat kemunculan perahu motor kecil dengan tujuh orang pemuda di atasnya. Tujuh pemuda ini terlihat seperti tujuh kurcaci yang akan menjemput Snow White dari istananya yang sudah tidak amam lagi untuk dihuni.
“Lempar kopermu ke sini!”, kata seorang pemuda itu.
Aku langsung melempar koperku itu. Begitu juga Edi melemparkan ransel hijau buntut yang digendongnya itu.
“Lompat!”, ujar pemuda itu lagi.
Edi melompat duluan, kemudian baru giliranku. Aku agak ragu dan takut melompat, sebab aku takut ketinggian. Lagi pula perahu kecil ini bergoyang-goyang sehingga aku tidak bisa memfokuskan mata ke titik pijak di mana aku akan melompat nanti.
“Cepat!”, pemuda itu kesal.
Dengan bismillahirrahmanirrahim, aku meluncur dari atas kapal ke perahu kecil itu. Alhamdulillah aku selamat.
Kapalpun berangkat dengan kecepatan penuh. Selamat tinggal kapal Sumekar. Ternyata kau tidak dapat membawaku ke tanah yang dijanjikan. Kangean menjemputku kembali. Tunggu aku Kangean. Aku memandang kembali Pulau Cellong yang telah kami singgahi tadi, dan sekarang kami melewatinya. Saat Pulau Cellong terlewati, angin berhembus kencang memenuhi seantero segara. Kami sekarang telah meninggalkan perisai indah Pulau Cellong yang telah melindungi kami dari prahara murka. Ombak bergulung-gulung kacau hingga perahu yang bermuatan sembilan orang ini bergoyang-goyang keras. Meskipun perahu terombang-ambing, kami harus tetap melewati rintangan ini agar sampai ke Kangean tujuan kami. Dan saat ini, perahu kami benar-benar memasuki negeri angin di mana raja prahara berkuasa di sini. Dan terbukti, perahu kecil buntut ini menjadi bulan-bulanan prahara murka raja-diraja segara raya. Hempasan ombak setinggi dua meter berkali-kali menghantam perahu kami. Hampir-hampir perahu malang ini guling ke belakang. Kami segera mengambil posisi agar perahu seimbang. Tiga orang di sisi kanan, tiga orang di sisi kiri, satu orang di depan dan satu lagi di belakang sebagai pengemudi. Tentu saja baju yang kami pakai termasuk koper basah kuyup. Perut kami mual. Perut seolah-olah dikocok seperti marakas Kaum Gypsi. Mungkin, cacing Ascaris lumbricoides yang menghuni perut kami berteriak, “tolong…..ada gempa bumi….!”.
Kami semua muntah. Muntahan kami tumpah di atas air dan bersatu dengan ombak yang ganas itu. Tiba-tiba mesin perahu mati. Wah, ada apa ini. Jangan-jangan nyawa kami memang harus melayang di sini. Mungkin Malaikat Izrail saat ini beterbangan di atas perahu kami menunggu detik-detik penghabisan hidup kami. Aku bergumam, “Ya Allah, jika memang hidup hamba tinggal menunggu menit, maka ampunilah segala dosa hamba. Ikhlaskanlah jiwa-jiwa yang pernah hamba pinjami uangnya yang belum terlunasi. Hamba siap menghadapi tantangan ini sebagaimana yang telah tertulis dalam kitab skenario induk, lawh mahfuz.
Air di dalam perahu menggenang banyak akibat ombak yang tinggi menerpa perahu kami. Kami bingung karena tidak dapat mengeluarkan air yang ada di dalam perahu ini, sedangkan volume air semakin bertambah. Maka aku ingat akan teri tepung goreng yang dibawakan ibuku. Aku ambil satu toples teri itu dari dalam koperku. Dengan segera tujuh pemuda tadi mengeroyok isi toples. Dasar monyet-monyet rakus. Baru saja muntah, mereka mengisi perut mereka kembali dengan teri-teri gurih buatan ibuku itu. Padahal teri itu ibu buatkan untukku sebagai camilan di asrama nanti. Tujuh pemuda tengik ini melahap habis isi toples dalam hitungan detik. Sedangkan aku, pemilik dari snack itu sendiri tidak makan satupun. Edi tidak peduli dengan teri-teri itu.Ia memuntahkan cairan kuning pahit dan bau seperti kemarin yang tumpah di atas kepalaku itu. Begitu isi toples habis, air dalam perahu segera dikuras oleh salah serang pemuda rakus itu. Tangannya benar-benar cepat menguras air. Mungkin ia sudah terlatih dalam hal menguras air dalam perahu. Bagiku, dia menguras seperti menggunakan seribu tangan.
Tampak dari arah timur, kulihat hempasan air begitu dahsyat. Setelah kulihat dengan seksama, ternyata itu bukan hempasan air yang terkena hembusan angin. Namun, hempasan itu diakibatkan oleh tiga ekor paus abu-abu yang sedang melakukan ocean going. Tiga spesies mamalia laut yang berukuran lebih besar dari pada dinosaurus ini menuju arah barat dengan loncatan-loncatan gila tanpa mempedulikan ada makhluk kecil merana seperti kami di depan mereka. Kami sangat khawatir. Hatiku berdegup kencang. Sebentar lagi nyawaku akan melayang. Makhluk-makhluk gendut tak berperasaan itu akan menimpa perahu kami. Atau bisa jadi mereka akan menelan kami seperti apa yang telah nenek moyang mereka lakukan kepada Nabi Yunus dan Pinokio. Jika mereka menimpa perahu kami, maka kami akan terombang–ambing gelombang dan beberapa detik kemudian akan mati. Sedangkan jika mereka menelan perahu, kami akan berdiam di dalam lambung paus beberapa saat, karena beberapa menit kemudin kami akan mati kekurangan oksigen dan hancur oleh gilingan lambung paus sebagai proses metabolisme. Si Edi tidak peduli dengan semua itu. Dia terkulai lemah karena muntah berulang-ulang. Mungkin ia sudah pasrah dengan kehidupannya. Jika hidup alhamdulillah, jika mati tidak masalah.
Tiga ekor paus ini semakin mendekati kami. Pemuda-pemuda tengik itu berteriak, “Allahuakbar…..Allahuakbar…..!”. Mereka kali ini benar-benar ketakutan. Dasar pemuda tengik, baru saja menghabiskan isi toplesku, sekarang baru sadar bahwa maut akan menjemput mereka. Satu pemuda yang duduk di belakang mengotak-atik mesin dengan mulut komat-kamit. Aku rasa, perbuatannya mengotak-atik besi rongsokan itu sia-sia, sebab tiga ekor paus gila itu sudah berjarak lima belas meter di belakang kami. Dengan mengucapkan innalillahi wainnna ilaihi rajiun, aku menutup mata dengan kelopak mata yang basah. Selamat tinggal dunia. Terima kasih karena telah memberi kesempatan padaku untuk menikmatimu. Teriakan takbir dari ketujuh pemuda iu semakin keras. Aku hanya bisa bergumam, “silahkan laksanakan tugasmu wahai Malaikat Maut!”. Tiba-tiba, “duk…..duk….duk…..”. Alhamdulillah, mesin kapal nyala kembali. Aku berteriak riang gembira bersama tujuh pemuda itu, “Allahuakbar…..!”.
***
Kami hampir sampai di Pulau Kangean. Perahu akan berhenti di Desa Gelllaman, desa terpencil yang berada di timur Pulau Kangean. Sedangkan Desaku, terletak di ujung barat Pulau Kangean. Untuk menuju Desa Gellaman ini, perahu harus melewati muara. Sebenarnya aku agak sedikit takut melewati muara ini, sebab di sini banyak buaya. Bahkan kata orang-orang tua di desaku, di sini juga dihuni oleh siluman buaya. Di kanan kiri muara terdapat hutan bakau di mana tinggi pohonnya ada yang mencapai sepuluh meter. Di sinilah kera-kera melompat-lompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Di cabang-cabang pohon tampak bergelantungan kalong-kalong hitam besar. Kepala mereka lebih menyerupai srigala dari pada tikus. Di bawah air yang jernih, berenang ke sana ke mari ikan-ikan air payau. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Mungkin inilah makanan para buaya dan kalong-kalong karnivora itu.
Aku dan Edi mengucapkan terima kasih banyak kepada tujuh pemuda itu yang telah mengantar kami dengan selamat sampai tujuan meskipun kami mengalami petualangan dahsyat yang hampir mengorbankan nyawa kami. Usai turun dari perahu, kami tidak langsung melanjutkan perjalanan, namun kami istirahat sebentar di bawah naungan pohon Samania saman yang rindang dan dijadikan istana oleh burung-burung gereja. Kami merenungkan kembali tentang kejadian yang baru saja kami alami. Inilah filosofi kehidupan yang menjadi salah satu khazanah berharga dari seluruh spektrum kehidupan. Hidup tidak akan nikmat jika hanya berjalan lurus. Tapi hidup akan nikmat bilamana melengkung seperti indahnya bentuk pelangi yang berwarna-warni.
Kamipun melanjutkan perjalanan dengan baju basah kuyup melewati persawahan. Koper kupikul mirip kuli yang sedang beroperasi di tempat-tempat umum. Angin berhembus dengan kencang hingga aku jatuh ke sawah beserta koper yang aku pikul. Edi terbahak-bahak girang melihat aku jatuh. Bukannya ditolong, malah tertawa. Penyakit seperti Edi inilah yang sedang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, hidup senang di atas derita orang.
“Kau seperti kerbau mandi Lumpur”, ejeknya senang.
Setelah melewati sawah, aku dan Edi berpisah karena dia dijemput pamannya. Sedangkan aku terus melanjutkan perjalanan melewati jalan tak beraspal. Sepatuku hancur gara-gara batu-batu jalan ini yang masih besar-besar dan belum diratakan. Kemudian aku naik angkot setelah sampai di jalan beraspal. Dengan ongkos lima ribu ripiah aku sampai di Terminal Kota Arjasa.
Pukul 15.00 aku sampai di rumah. Orang-orang seisi rumah menyambutku dengan tangisan haru. Mereka telah mengetahui kejadian yang aku alami karena aku mengabari mereka dengan short message service (sms) ketika aku masih di kapal Sumekar meskipun dengan jaringan yang terputus-putus. Mereka memeluk dan menciumku karena bahagia atas keselamatanku.
Subhana Rabbiyal Adhimi wabihamdihi.
TAMAT
